Oleh : Kirayana
“Apa yang terjadi, Calya?” lirih gadis berjilbab merah jambu yang duduk tepat di samping ranjang, menatapku perih. Suara lembutnya bercampur isak tangis, mengiris hati. Tangan kecil itu, sangat berhati-hati, menyentuh pelipis yang biru lebam. Namun tetap saja membuatku meringis. Dia segera menarik tangannya lagi.
Seberkas air bening merembes dari ujung mata bulat yang dilingkari bulu-bulu hitam lentik. Perlahan diusapnya dengan ujung jari. “Ini sudah kali keduanya kau harus rawat inap dengan kondisi yang ah ….” Dia tak melanjutkan ucapan.
Matanya menatap nanar tubuhku yang terbaring lunglai di atas ranjang putih. Selang infus menjuntai panjang tersambung ke tangan kiri yang mulai kebas. Tangan kanan terasa berat dan kaku karena bebat gips dan perban warna coklat susu, menopang tulang tangan yang bergeser. Sebagian wajah, mulai dari pelipis hingga mata lebam dan bengkak, sedangkan ujung bibir pecah. Bau obat menyeruak tajam di seluruh tubuh.
Aku tersenyum tipis. “Ini ndak sesakit yang terlihat, kok. Hanya seperti digigit semut.”
“Digigit semut?” sergah Briana sambil membelalakkan mata. Wajahnya terlihat lucu dan membuatku ingin tertawa, namun yang terlihat baginya adalah sebuah kernyit ngilu. “Kau sakit lagi?” tanyanya khawatir.
Aku menggeleng pelan. “Sudah dibilang aku baik-baik saja. Tak perlu khawatir. Lusa aku sudah bisa keluar.”
“Calya ….” Dia mengelus pelan anak-anak rambutku. Air kembali menganak di matanya. “Kemana perginya gadis ayu yang kukenal?”
Dia berhenti bicara saat terdengar suara pintu kamar terbuka. Sesosok pria berwajah panjang, kulit sawo matang, rambut hitam pendek, berminyak tersisir rapi, berpakaian kemeja hijau lumut, motif corak insang di bagian dada, melangkah cepat mendekati ranjang. Wajahnya tampak pias, khawatir.
“Maaf ya, aku baru datang. Jadwal kuliah hari ini padat sekali,” ujarnya sambil mengecup lembut puncak kepalaku. “Kau sudah baikan, Sayang?”
Aku tersenyum kecil, menatapnya. “Kata dokter, lusa sudah boleh rawat jalan.”
Dia menatapku sambil tersenyum senang. “Syukurlah, kau bisa segera pulang. Aku harap ndak ada kejadian seperti ini lagi.”
“Maaf ya,” sesalku.
Dia menatap dalam sambil tersenyum tipis. Tatapan dan senyum inilah yang membuatku selalu kembali jatuh cinta kepadanya. Perlahan ku angkat tangan kiri mencoba menyentuh pipinya. Dia menyambut tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan tangan kokohnya menjalar merasuki hati dan menyembuhkan luka di seluruh tubuh ini.
“Sayang, jam istirahat siang sudah selesai,” ucapnya lembut. “Aku kembali ke kampus dulu. Usai ngajar aku kesini lagi ya. Tunggu aku.”
Dia pun bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan aku dan Briana, yang tak lepas menatap tajam padanya.
“Ini semua akibat perbuatan dia kan?” cercanya usai kepergian suamiku.
Aku hanya diam, menatap kosong dinding putih di hadapan.
“Sikap diammu ini semakin meyakinkan aku bahwa ini memang perbuatannya,” geram Briana. Gadis bertubuh mungil itu bangkit dari kursi, berjalan bolak balik di sisi ranjang, menggigit bibir dan meremas kedua tangannya bergantian.
“Sejak dulu aku sudah merasakan ada yang aneh dan salah dengan hubungan kalian. Mantan Dare yang mewakili Kota Pontianak di berbagai event nasional, tiba-tiba menarik dirinya. Tidak lagi mau bergaul dan setiap kali kita bertemu selalu ada bekas luka di tubuhmu. Kau berubah seratus delapan puluh derajat sejak mengenalnya dan semakin aneh setelah menikah.”
Briana terus mengoceh, namun tak satu kata pun yang terdengar lagi di telinga. Aku sibuk dengan pikiran sendiri. Sampai saat ini, aku masih tak mengerti mengapa Briana, sahabatku dari kecil, tidak menyukai suamiku, Oni Nata, yang sangat baik hati dan dewasa. Dia lah yang telah mengenalkan aku dengan cinta seorang lelaki, yang sejak lahir tak pernah kudapatkan.
Awal perkenalanku dengan Oni Nata sangat berkesan. Dia adalah dosen pembimbing skripsiku. Usia kami terpaut hampir 15 tahun. Sejak awal perkenalan dia selalu baik, perhatian dan bijak. Dia banyak membantu hingga aku bisa menyelesaikan skripsi dalam waktu singkat. Aku sangat beruntung mengenal dan pada akhirnya bisa menikahi pria sempurna itu.
Di usia yang baru menginjak kepala 4, dia sudah berhasil menduduki posisi guru besar di kampus. Aku selalu berusaha menyesuaikan diri agar tak memalukan. Tapi dia terlalu hebat, hingga sulit bagiku yang hanya seorang gadis biasa untuk menggapainya.
Pernikahan kami sudah berjalan selama 3 tahun, namun Tuhan belum berkenan meramaikan rumah kami dengan tawa ceria sang buah hati. Sebagai anak tunggal, orang tuanya sangat mengharapkan cucu. Saat hatinya gusar karena desakan itu, dia akan melampiaskan kemarahan padaku. Beberapa layangan pukulan ringan cukup membuat hatinya lega. Bagiku tak mengapa karena pukulan itu tidak lebih menyakitkan dari apa yang dia rasakan dalam hati. Aku tau bahwa hatinya menderita karena aku belum bisa mendukungnya untuk hal kecil seperti itu.
“Calya Ayu.” Panggilan lembut Briana menyadarkan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati wajahnya sudah dekat denganku.
Briana menatap lekat. “Kau dan aku sudah bersahabat sejak dalam kandungan. Semua hal tentangmu aku sudah tau luar dalam. Aku hanya ingin kau jujur. Sebagai sahabat aku tak bisa melihat kau terus menderita. Aku hanya ingin membantumu. Melihatmu seperti ini membuat hatiku perih. Miris.” Matanya kembali berkaca-kaca.
Briana benar. Kami sudah berteman sejak dalam kandungan karena kedua orangtuanya dan ibuku adalah tetangga dekat. Sejak kecil kami selalu bersama, hampir tak pernah berpisah. Aku menghabiskan waktu bersamanya lebih banyak daripada bersama ibu ku sendiri, yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Buatku Briana adalah malaikat. Gadis mungil yang tingginya tidak lebih dari telingaku ini selalu siap membantu semua kesulitan. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkan.
Saat Briana memutuskan mengambil studi kedokteran di Pulau Jawa aku menangis sepanjang malam, sedih dan gusar, namun tetap mendukung keputusan dan cita-citanya. Aku tak ingin terus membebaninya.
Aku menggigit bibir pelan, tiba-tiba tenggorokan terasa kering. Ku alihkan pandangan dari mata bulat hitam itu, kembali menatap kosong dinding putih kamar rumah sakit.
“Calya,” panggilnya sendu. “Aku mohon. Ijinkan aku membantumu.”
“Terima kasih atas perhatianmu, Bri. Tapi kau tak perlu khawatir. Aku tak ingin membebanimu lagi.”
Dia menatapku getir.
“Aku memang pantas mendapatkan ini semua,” lanjutku datar. “Aku lupa janji pengobatan ke dokter yang telah kami buat kemarin.”
“Kemarin?” potongnya cepat, “Berarti saat kau pergi bersamaku?”
“Itu kesalahanku karena lupa dengan janji dan terlambat pulang.”
“Brengsek,” maki Briana. “Teganya dia memukulmu sampai seperti ini. Jahat.”
“Jangan maki dia. Ini semua aku yang salah. Aku tidak serius dengan niat kami untuk memiliki keturunan.”
Tangis Briana pecah, terisak dia berkata, ”Calya, setelah sembuh, aku ingin mengajakmu bertemu dengan salah satu temanku. Dia adalah seorang psikolog. Dia mungkin bisa membantumu.”
“Kenapa aku harus ke psikolog, Bri?” tanyaku heran. Yang aku tahu selama ini psikolog untuk mengobati orang dengan gangguan kesehatan mental. Sedangkan yang sakit saat ini adalah tubuhku bukan jiwaku.
“Dia bisa membantumu menghadapi hubungan abusive antara kau dan suamimu. Saat ini tanpa kau sadari suamimu sudah melakukan KDRT.”
“Hubungan abusive? KDRT? Apa maksudmu Bri?” Kata-kata Briana terdengar tak masuk akal. Oni Nata sangat menyayangiku dan perilakunya adalah bentuk didikan agar posisi kami bisa sejajar
“Calya, kau cukup percaya padaku,” ujarnya tegas. “Saat keadaanmu semakin membaik aku yang akan mengatur pertemuan dengannya. Kau cukup ikut bersamaku.”
*****
Satu bulan berlalu, kondisiku berangsur pulih. Kemarin gips di tangan kanan sudah dilepas. Aku sangat bahagia karena akhirnya bisa bergerak bebas, mengerjakan aktivitas harian menggunakan kedua tangan terasa lebih nyaman.
Hari ini aku sudah membuat janji dengan Briana untuk mengunjungi rekan kerjanya yang seorang psikolog. Aku sebenarnya enggan, namun tak kuasa menolak. Aku tak mau mengecewakan dirinya yang telah telaten merawatku selama sakit.
Saat aku di rumah sakit, Oni Nata sangat sibuk dengan kegiatan kampus, sehingga hanya sempat menjenguk beberapa kali. Saat dia bisa menyisihkan waktunya yang berharga, selama 15 – 20 menit, untukku adalah sebuah anugerah. Sebagai istri, ini satu-satunya bentuk dukungan yang bisa kuberikan, yaitu memberi kebebasan dan waktu sebanyaknya, untuk dia dapat mengembangkan karir.
Aku membuat janji temu di siang hari, di saat Oni Nata sedang sibuk dengan urusan kampus. Suamiku tak suka jika aku sering keluar saat dia ada di rumah, sehingga siang hari adalah waktu yang tepat bagiku untuk beraktivitas di luar rumah.
Aku sudah beres berdandan dan sedang menanti Briana menjemput, saat pintu garasi rumah terdengar dibuka dan diikuti suara deru mobil yang masuk. Tak lama sosok tinggi besar melangkah masuk ke dalam rumah. Mata teduhnya membelalak saat melihat aku yang sudah berdandan rapi.
“Kau mau kemana?” hardiknya. Dia bergerak ke arahku dengan mata melotot, berang. Tanganku saling mengepal, gugup. Ini salahku. Oni Nata tidak suka jika aku pergi tanpa minta izin.
“Kau sudah berani pergi keluar tanpa minta izin dahulu?” bentaknya diiringi sebuah tamparan di kepala. Aku jatuh tersungkur, belakang kepalaku membentur ujung meja tamu.
Aku pegangi bagian yang berdenyut nyeri. Cairan kental berwarna merah kecoklatan menempel di tangan. Cairan itu mengalir deras, membuat rambut lepek dan mengotori baju. Oni pasti tidak senang dengan kekacauan ini, apalagi baju yang kukotori adalah hadiah ulang tahun pernikahan kami ketiga.
Kepalaku terasa semakin berat, tak sanggup membuka mata. Sayup terdengar Oni berteriak memanggil namaku. Aku ingin membalas namun lidahku kelu. Oni memelukku erat. Dia tak peduli dengan cairan merah yang mengotori tubuhnya, tak seperti dirinya yang biasa.
Perlahan napasku semakin melemah. Sakit di kepala dan seluruh tubuh pun menghilang. Dari kejauhan terdengar jeritan Briana. Aku tersenyum lemah, bahagia. Sekarang aku tak lagi merepotkan kedua orang yang kusayangi.
- TAMAT –
Catatan :
- Ndak = tidak (bahasa daerah).
- Dare = gadis (bahasa daerah).
- hubungan abusive = suatu hubungan yang disertai dengan tindakan kekerasan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pasangan.